Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN

Gambar : Desain by +Ladlul Muksinin 




BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Ajaran negara berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum.

Atas dasar pernyataan diatas maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasaan.[1]

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah yang tersusun sebagai berikut, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan Teori Pembagian Kekuasaan?
2. Bagaimanakah Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal dan Secara Vertikal?
3. Apakah yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
4. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Legislatif?
5. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Eksekutif?
6. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Yudikatif?


Lihat juga MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN

Bagi yang ingin mengunduh file asli silahkan ijin di kolom komentar agar ilmunya bermanfaat


BAB II

PEMBAHASAN


A. TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN

Ajaran pembagian kekuasaan negara semakin mendapatkan tempat dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan berbagai variasi dan dinamika yang menyertainya. Ketiga kekuasaan (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.


1. Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita melihat pada pelaksanaan trias politika sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan. Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri.[2]

Pembagian kekuasaan (division of power) adalah pemisahan kekuasaan secara formal yaitu pemisahan kekuasaan yang mana tiap bagiannya tidak dibatasi pemisahannya secara tegas (masih memungkinkan fungsi bersama). Sedangkan pemisahan kekuasaan (separation of power) adalah pemisahan kekuasaan secara materiil, yaitu bagian-bagiannya dipisahkan secara tegas.[3]

2. Teori “Trias Politika” Montesquieu (1689-1755)

Salah satu teori pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politika Montesquieu. Dalam bukunya ”The Spirit of Laws” (1974) Montesquieu memberikan potret atas pemerintahan Inggris. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu:

a. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang;
b. Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan
c. Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan untuk menghakimi.[4]

Tiga poros kekuasaan di atas oleh Immanuel Kant, filsuf yang datang kemudian disebut sebagai Trias Politika.[5] Pada hakikatnya, Trias Politika menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan oleh pihak yang berkuasa.[6]

3. Teori John Locke (1632-1704)

Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu diilhami oleh pandangan John Locke[7] dalam bukunya ”Two Treaties on Civil Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris. Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu:

a. Kekuasaan perundang-undangan;
b. Kekuasaan melaksanakan hal sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan Pengadilan; dan
c. Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh Locke dinamakan federative power. [8]

Ada perbedaan mendasar antara Locke dan Montesquieu dalam melihat kekuasaan kehakiman atau pengadilan. Bagi Locke, kehakiman/pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan undang-undang.[9] Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari, sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.

4. Teori “Catur Praja”

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu:


1. Fungsi regeling (pengaturan);
2. Fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);
3. Fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan
4. Fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.[10]



B. PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN DI IDNONESIA

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances)[11]. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.[12]

Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[13]

Setelah UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Materi perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.[14]

Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.[15] Menurut Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan, bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[16]




C. PEMERANTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan tidak seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan sebagian diserahkan kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah, yang secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah Daerah.

Dengan sistem desentralisasi, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada badan politik lokal (pemerintah daerah)[17]. Wewenang daerah yang diterima dari Pemerintah Pusat itu disebut otonomi daerah. Dasar konstitusional bagi berlakunya otonomi daerah, yang kemudian diikuti dengan pembentukan pemerintahan daerah adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah berkali-kali mengalami perubahan (amendemen). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.

1. Pemerintah Pusat

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat dalam arti tidak diserahkan kepada daerah meliputi:

a. Politik luar negeri, misalnya, pengangkatan pejabat diplomatik;
b. Pertahanan, misalnya, membentuk angkatan bersenjata;
c. Keamanan, misalnya, membentuk kepolisian negara;
d. Yustisi, misalnya, kehakiman, peradilan;
e. Moneter, misalnya, berhubungan dengan uang atau keuangan; dan fiskal, misalnya, berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan negara;
f. Agama, misalnya, menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional.

Mengapa hal-hal tersebut di atas tidak diserahkan kepada pemerintah daerah? Kewenangan pemerintah pusat lebih pada perumusan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan urusan luar negeri, sedangkan kewenangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut.

a. Kewenangan politik

Selama ini pemerintah pusat ikut campur dalam masalah pemilihan kepala daerah. Dengan adanya otonomi daerah, rakyat diberi kesempatan memilih langsung kepala daerahnya masing-masing. Kepala daerah yang terpilih bukan penguasa tunggal karena ia bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila melanggar peraturan perundang-undangan, DPRD bisa memberhentikannya.

b. Kewenangan administrasi

Hal ini kaitannya dengan masalah keuangan. Pemerintah pusat memberikan dana (uang) kepada daerah, dan daerah mengelolanya untuk kepentingan-kepentingan organisasinya. Uang itu merupakan hasil pendapatan negara yang berasal dari sumber daya alam, pajak, dan bukan pajak yang sebagian juga berasal dari daerah.

2. Pemerintah Daerah

Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPR Daerah. Pemerintah Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah yang dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah. Guna melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dibentuk perangkat daerah. Dalam uraian berikut, akan dibahas tentang Kepala Daerah, DPR Daerah, dan perangkat daerah.

Dalam menyelenggarakan kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah adalah:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.



D. KEKUASAAN LEGISLATIF

Badan Legislatif yaitu pembuat undang-undang pada umumnya di berbagai negara terdapat pada parlemen dalam negara itu, di Indonesia badan legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan badan-badan yang memiliki wewenang legislasi, kontrol dan anggaran. Tentunya disetiap negara badan legislatifnya tentu berbeda-beda ada yang menerapkan dengan sistem satu majelis dan dua majelis. Majelis tersebut juga diklasifikasikan kembali menjadi majelis rendah dan majelis tinggi.[18]

Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut[19] :

1. Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang- undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.

2. Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.

3. Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.

4. Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.

5. Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.


E. KEKUASAAN EKSEKUTIF

Badan eksekutif terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Dalam arti luas pegawai negeri sipil serta militer juga termasuk kedalam badan eksekutif. Badan eksekutif memiliki beberapa wewenang yang diantaranya mencakup berbagai bidang yaitu Administratif, Legislatif, Keamanan, Yudikatif memberi grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya. Dan diplomatik untuk berhubungan dengan negara-negara lain.[20] Adapun Kekuasaan Eksekutif atau kekuasaan Pemerintah diatur dalam UUD 1945 Bab III Pasal 4 – 15.

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.[21]

1. Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.

2. Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.

3. Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.

4. Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.

5. Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.

6. Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang- undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.



F. KEKUASAAN YUDIKATIF

Badan Yudikatif biasanya identik dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan pelanggaran undang-undang. Diberbagai negara badan yudikatif memiliki berbagai persamaan. Di Indonesia badan Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (Ma), serta Komisi Yudisial (KY). MK adalah lembaga yudikatif tertinggi atas lembaga-lembaga yang lain setara dengan MA jika MA bisa digugat namun keputusan MK tidak dapat diajukan banding dan sifatnya sudah final. Sedangkan, KY pada dasarnya sebagai pengatur dari hakim-hakim konstitusi karena KY umumnya bersifat mengatur kode etik para hakim-hakim agung agar dapat menjalankan tugas kehakiman secara baik.[22]

Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).[23]

1. Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional).

2. Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.

3. Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

4. Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.

5. International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).



BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Teori Pembagian Kekuasaan dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya adalah John Locke, Montesquieu dengan teori Trias Politikanya, C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow dengan Teori Catur Prajanya. Namun yang lebih banyak digunakan di berbagai negara adalah Teori Pembagian Kekuasaan Trias Politika dalam melaksanakan pembagian kekuasaan. Walaupun tidak sama persis, namun prinsip-prinsipnya tetap dipertahankan hingga sekarang.

Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan tidak seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan sebagian diserahkan kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah, yang secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah Daerah.

Badan Legislatif yaitu pembuat undang-undang pada umumnya di berbagai negara terdapat pada parlemen dalam negara itu, di Indonesia badan legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan badan-badan yang memiliki wewenang legislasi, kontrol dan anggaran.

Badan eksekutif terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Dalam arti luas pegawai negeri sipil serta militer juga termasuk kedalam badan eksekutif. Badan eksekutif memiliki beberapa wewenang yang diantaranya mencakup berbagai bidang yaitu Administratif, Legislatif, Keamanan, Yudikatif memberi grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya

Badan Yudikatif biasanya identik dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan pelanggaran undang-undang. Diberbagai negara badan yudikatif memiliki berbagai persamaan. Di Indonesia badan Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (Ma), serta Komisi Yudisial (KY).



DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Kosntitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

                            . 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

                            . 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Bagir Manan. 2003. Hukum Tata Negara. Jakarta: Fakultas Hukum UII.

C.S.T Kansil. 1978. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Hotma P. Sibuea. 2014. Ilmu Negara. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak). Malang: Universitas Brawijaya Pers.

Mahfudz, Moh. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.

Meriam Budiarjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.

Moh. Kusnardi dan R. Saragih. 1994. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wirjono Prodjodikono. 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta Timur: Dian Rakjat.



Footnote :

[1] Bagir Manan, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Fakultas Hukum UII, 2003), Hal. 11.
[2] Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), Hal. 140.
[3] Isrok dan Dhia Al Uyun, Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak), (Malang: Universitas Brawijaya Pers), Hal. 125,
[4] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 13.
[5] Moh. Mahfudz, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), Hal. 273.
[6] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 151.
[7] John Locke dianggap sebagai peletak dasar teori pembagian kekuasaan negara. Pikiran-pikiran tentang pembagian kekuasaan negara dituangkan oleh Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”
[8] Wirjono Prodjodikono, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta Timur: Dian Rakjat, 1983), Hal. 16.
[9] Ibid.
[10] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 34.
[11] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kosntitusionalisme, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 59.
[12] Op.cit, Jimly Asshiddiqie, Hal. 34.
[13] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[14] Ibid.
[15] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[16] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[17] Hotma P. Sibuea, Ilmu Negara, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014), Hal. 276.
[18] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 315-326.
[19] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
[20] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 295-297.
[21] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
[22] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 350-361.
[23] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
Labels: Hukum Tata Negara

Thanks for reading MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN. Please share...!

36 Comment for "MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN"

Ijin download, buat pembelajaran🙏

Izin download untuk pembelajaran

Back To Top